Katekese Liturgi; Suatu Keharusan

8-Juni-640x640.jpg

Berbagai usaha menjadikan perayaan Ekaristi menjadi menarik, mengesan, dan mengena telah dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya: perayaan Ekaristi yang disesuaikan dengan adat budaya tertentu, penggunaan bahasa dan budaya setempat, kehadiran para petugas liturgi yang trampil dan terlatih, tata ruang yang anggun dan berbagai usaha sejenisnya. Semua upaya ini patutlah kita sambut dengan penuh syukur, namun kiranya segala usaha tersebut lebih menekankan segi lahir dan kelihatan dari perayaan Ekaristi itu sendiri, serta belum begitu menyentuh alasan utama rendahnya tingkat partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi, yakni motivasi yang tepat dan kurangnya pemahaman umat beriman akan hakekat perayaan Ekaristi.

by Rm Karnan Ardijanto, Pr

Bapa konsili melihat bahwa perayaan liturgi, terutama perayaan Ekaristi, merupakan puncak yang dituju oleh seluruh kegiatan dan karya kerasulanan Gereja, sekaligus merupakan sumber segala daya kekuatannya Sacrosanctum Concilium (SC 10] Sedangkan Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) menambahkan bahwa pekerjaan sehari-hari dalam kehidupan Kristen juga berkaitan erat dengan perayaan Ekaristi: bersumber dari padanya dan tertuju kepadanya (PUMR 16). Dengan kata lain, liturgi merupakan sumber utama yang tak tergantikan untuk menimba semangat kristiani yang sejati. Hal ini mengandaikan dan menuntut partisipasi sadar, aktif dan sepenuhnya dari kaum beriman yang mengambil bagian dalam perayaan liturgi (SC 19). Dewasa ini haruslah diakui bahwa di mana-mana tingkat partisipasi umat beriman dalam perayaan Ekaristi sudah menunjukkan kemajuan dan sernakin meningkat, namun tidak sedikit juga umat yang terus saja pasif dan kurang bergairah dalam mengikuti perayaan Ekaristi, Rendahnya tingkat partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi ini dapat disebabkan oleh motivasi yang keliru: motivasi “wajib” dan “hanya ikut” karena setiap orang yang sudah dibaptis harus ke gereja pada hari minggu (Mayor, 1999: 2). Alasan lain yang lebih mendasar kiranya adalah kurang atau rendahnya pengertian dan pemahaman sebagian besar umat beriman ten tang perayaan Ekaristi itu sendiri (Roguet, 1984: 5).

Kenyataan ini menyisakan suatu tantangan dan tugas besar bagi seluruh umat beriman untuk menjadikan liturgi, terutama perayaan Ekaristi, sungguh sebagai puncak yang dituju oleh seluruh hidup Gereja dan hidup sehari-hari umat beriman, dan sekaligus sebagai sumber rahmat bagi pengudusan manusia dan pemuliaan Allah. Bagaimana perayaan liturgi, terutama perayaan Ekaristi, dapat menjadi peristiwa yang menarik, mengesan, mengena, sekaligus menjadi sumber rahmat dan daya kekuatan bagi jemaat untuk menghayati iman dan melaksanakan perutusan di tengah kehidupan harian mereka.

Ber bagai usaha menjadikan perayaan Ekaristi menjadi menarik, mengesan, dan mengena telah dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya: perayaan Ekaristi yang disesuaikan dengan adat budaya tertentu, penggunaan bahasa dan budaya setempat, kehadiran para petugas liturgi yang trampil dan terlatih, tata ruang yang anggun dan berbagai usaha sejenisnya. Semua upaya ini patutlah kita sambut dengan penuh syukur, namun kiranya segala usaha tersebut lebih menekankan segi lahir dan kelihatan dari perayaan Ekaristi itu sendiri, serta belum begitu menyentuh alasan utama rendahnya tingkat partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi, yakni motivasi yang tepat dan kurangnya pemahaman umat beriman akan hakekat perayaan Ekaristi.

Para bapa konsili melihat bahwa usaha yang harus dilakukan untuk meningkatkan partisipasi dan penghayatan umat beriman dalam perayaan Ekaristi adalah melalui pendidikan liturgi bagi kaum beriman. Oleh karena itu para bapa konsili berkata:

Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi … Maka dari itu dalam seluruh kegiatan pastoral mereka, para gembala jiwa harus mengusahakannya dengan rajin melalui pendidikan yang seperlunya (SC 14).
Hendaklah para gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan liturgi kaum beriman serta keikutsertaan mereka secara aktif, baik lahir maupun batin, sesuai dengan umur, situasi, corak hidup dan taraf perkembangan religius mereka (SC I9).

Perlulah disadari bahwa partisipasi sadar, aktif, dan sepenuhnya pertama-tama dan terutama berasal dari hakekat liturgi itu sendiri dan berdasarkan Imamat umum kaum beriman yang telah mereka terima melalui sakramen permandian (SC 14). Liturgi sebagai tindakan Kristus sekaligus tindakan Gereja rnenjadikan perayaan liturgi sebagai perayaan jemaat. Jemaatlah yang menjadi subyek dan partisipan aktif; mereka bukan penonton yang pasif. Berkat anugerah Imamat umum, umat beriman berhak dan wajib untuk mengungkapkan imamat umum mereka bersama dengan seluruh Gereja dalam perayaan liturgi.
Partisipasi secara sadar, aktif, dan sepenuhnya dari umat beriman juga memungkinkan mereka menghadiri perayaan liturgi dengan sikap-sikap yang serasi: kesesuaian isi hati dengan apa yang mereka ucapkan (SC 11), antara sikap batin dengan ungkapan lahir; antara apa yang mereka imani (lex credendi) dengan apa yang mereka nyatakan (lex orandi).

Bagi para bapa konsili, pendidikan liturgi bukanlah suatu penawaran atau anjuran, melainkan suatu keharusan bagi para gembala jiwa (SC 14), karena salah satu tugas utama mereka adalah pembagi rahmat dan misteri-misteri Allah (SC 19). Dalam melaksanakan pendidikan liturgi ini, para gembala dianjurkan untuk melakukannya dengan rajin, tekun, dan sabar SC 14 dan SC 19). Dengan rajin berarti bahwa para petugas pastoral dituntut untuk melaksanakannya dengan terus menerus tanpa henti. Usaha mereka yang rajin dan tanpa henti itupun masih perlu ditunjang dengan ketekunan dan kesabaran mengingat bahwa tidaklah selalu mudah melaksanakan pendidikan liturgi bagi kaum beriman. Tidak sedikitlah tantangan, kesulitan, hambatan, dan kemungkinan gagal. Menghadapi semua ini para pelayan tertahbis dan non tertahbis diharapkan memiliki kegigihan, ketekunan dan kesabaran dalam membina kaum beriman.

Selain melalui pendidikan liturgi, bapa-bapa konsili, dalam Deklarasi ten tang Pendidikan Kristen,juga menyatakan bahwa peningkatan partisipasi umat beriman dalam perayaan liturgi dapat dilakukan melalui kegiatan katekese. Kegiatan katekese yang sejati senantiasa mengarahkan peserta untuk merayakan iman mereka dalam perayaan-perayaan liturgi Gereja:

Di antaranya yang utama ialah pendidikan kateketis, yang menyinari dan meneguhkan iman, menyediakan santapan bagi hidup menurut seman gat Kristus, mengantar kepada partisipasi yang sadar dan aktif dalam misteri Liturgi, dan menggairahkan kegiatan merasul (GE 4).

Pernyataan para bapa konsili tersebut ditegaskan kembali oleh Petunjuk Umum Katekese (2000) ketika membicarakan tentang tugas katekese:
” … katekese, bersama dengan memajukan pengetahuan tentang arti liturgi dan sakramen-sakramen, harus juga mendidik para murid Kristus untuk doa, ucapan syukur, tobat, berdoa dengan penuh kepercayaan, untuk semangat menjemaat, untuk mengerti dengan tepat arti Credo … karena semua ini perlu bagi hidup liturgis (PUK 85).
” … pembinaan liturgis … harus menjelaskan apa itu liturgi Kristen, dan apa itu sakramen. Katekese harus juga memberikan pengalaman tentang macam-macam perayaa» yang berbeda, dan harus membuat simbol-simbol, gerak-gerak, dan sebagaitrya yang dikenal dan dicintai” (PUK 87).

Petunjuk Umum Katekese (PUK 85 dan 87) juga menyebutkan berbagai bahan pembinaan liturgi bagi cmat beriman, yakni: arti dan makna liturgi Kristen, sakramen-sakramen atau perayaan liturgi lainnya, simbol-simbol dan gerakan liturgi, dan sebagainya. Selain itu katekese juga diharapkan membentuk dalam diri umat beriman sikap-sikap yang dituntut dan diperlukan oleh setiap perayaan liturgi, misalnya doa, ucapan syukur dan pujian, tobat, berdoa dengan penuh kepercayaan, semangat menjemaat, dan sejenisnya, Dan yang tak kalah pentingnya adalah bahwa katekese secara khusus juga mempersiapkan umat beriman untuk memasuki sakramen-sakramen inisiasi secara bertahap.

Dewasa ini patutlah disyukuri dengan adanya berbagai usaha pendidikan liturgi bagi umat beriman yang sudah dilaksanakan oleh berbagai pihak. Pertama yang perlu disebut adalah pendirian Institute Liturgi (ILSKI = Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia) di Bandung, namun perlu ditanyakan sejauh mana lembaga ini juga mengusahakan pendidikan liturgi bagi umat beriman dan sejauh mana kerjasama dengan Kornisi Liturgi KWI dalam mengusaha-kan pendidikan sejenis. Usaha-usaha lain yang dilakukan melalui media cetak: buku-buku, majalah-majalah, bulletin atau leaflet,dan sejenisnya di berbagai tingkat baik parokial maupun keuskupan ataupun nasional. Pembinaan liturgi bagi para petugas liturgi juga banyak dan kerap kali dilaksanakan di begitu banyak tempat, namun dalam pengamatan kami tak jarang pembinaan tersebut memiliki titik tekan pada pembinaan teknis untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab para petugas liturgi; sedangkan pembinaan liturgis atau biblis ataupun teologis kurang mendapatkan perhatian secukupnya. Upaya lain yang dilakukan Komisi Liturgi KWI adalah menetapkan bulan Mei sebagai Bulan Liturgi Nasional. Komisi Liturgi KWI juga menawarkan bahan dan kegiatan yang dapat diwujudkan selama bulan liturgi tersebut, namun dalam kenyataannya hanya sebagian kecil paroki saja yang menaruh perhatian terhadapnya. Menurut hemat kami, kecilnya perhatian paroki-paroki pertama-tama tidak disebabkan oleh rendahnya minat para gembala atau umat beriman terhadap liturgi, namun penetapan waktunya yang dirasa kurang tepat. Bulan Mei biasanya paroki-paroki baru saja menyelesaikan kesibukan mereka dengan peristiwa Pekan Suci dan belum sempat “cooling down.” Bulan tersebut mereka juga memfokuskan perhatian kepada kegiatan devosi kepada Santa Perawan Maria. Apakah tidak dimungkinkan perubahan penetapan Bulan Liturgi Nasional dari bulan Mei ke bulan lain sehingga ada cukup waktu untuk mempersiapkannya dengan perhatian yang tidak terbagi sehingga gema Bulan Liturgi Nasional juga terasa di paroki-paroki.

Tak kenal, maka tak sayang. Kiranya ungkapan ini tepat untuk dikenakan pada liturgi kita. Kurangnya pemahaman akan liturgi menjadikan orang kurang terlibat dan berpartisipasi dalam liturgi dan akhirnya kurang dapat memetik dan menikmati rahmat pengudusan yang diperlukan untuk menghayati hidup harian kita dalam Tuhan. Akhirnya pendidikan liturgi menjadi suatu keharusan yang tidak pernah boleh diabaikan oleh para gembala (maupun para petugas pastoral non tertahbis) baik sebagai jawaban atas seruan konsili maupun aktualisasi tugas mereka sebagai pembagi rahmat misteri penyelamatan Allah sekaligus juga sebagai aktualisasi imamat umum kaum beriman.

Rm Karnan Ardijanto, Pr (Penulis adalah Ketua Komkat Keuskupan Surabaya)
Sumber: http://www.imankatolik.or.id/katekese-liturgi.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *