Homili Paus Fransiskus pada Pesta Epifani

RV22368_Articolo4.jpg

Paus Fransiskus memimpin misa pada pesta Epifani yang dirayakan di Basilika St. Petrus pada hari Jumat.

Berikut adalah homili Paus Fransiskus dalam terjemahan bahasa Indonesia.

“Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.” (Mat 2:2)

Dengan kata-kata ini, para Majus, datang dari jauh, memberitahukan kepada kita alasan perjalanan panjang mereka: mereka datang untuk menyembah Raja yang baru lahir. Melihat dan menyembah. Dua tindakan ini menonjol dalam bacan Injil hari ini. Kita melihat sebuah bintang dan kita mau menyembah.

Para Majus melihat sebuah bintang yang membawa mereka keluar. Pencarian akan sesuatu yang tidak biasa tentang Kerajaan Surga ini memicu serangkaian peristiwa. Bintang itu tidak hanya bersinar bagi mereka, tidak juga mereka yang memiliki DNA istimewa yang bisa melihatnya. Seperti sudah dikatakan oleh salah satu Bapa Gereja, Para Majus tidak berangkat karena mereka telah melihat bintang itu, melainkan mereka melihat bintang itu karena mereka sudah berangkat (bdk. Santo Yohanes Krisostomus). Hati mereka sudah terbuka dan mereka dapat melihat apa yang ditunjukan surga kepada mereka.

Para Majus mewakili semua orang yang percaya, yang mencari Allah, mendambakan rumah, tanah surgawi. Mereka merefleksikan gambaran semua orang yang dalam hidupnya tidak membiarkan hati mereka menjadi mati rasa.

Sebuah kerinduan yang kudus pada Allah bersumber dalam hati orang yang percaya sebab mereka tahu bahwa Injil bukanlah sebuah peristiwa masa lalu, tetapi masa kini. Kerinduan kudus agar Allah membantu kita tetap berjaga di hadapan setiap usaha hidup kita. Kerinduan kudus akan Allah adalah kenangan iman, yang memberontak sebelum kematian semua Nabi. Kerinduan itu menjadikan harapan tetap hidup dalam komunitas orang percaya, yang dari minggu ke minggu tetap bertahan: “datanglah, Tuhan Yesus.”

Kerinduan yang sama menuntun Simeon untuk pergi ke bait Allah setiap hari, memastikan bahwa hidupnya tidak akan berakhir sebelum dia menggendong Juruselamat. Kerinduan ini menuntun anak yang hilang untuk meninggalkan gaya hidup yang merusak diri sendiri dan mencari ampunan bapaknya. Kerinduan ini adalah kerinduan yang dirasakan oleh gembala yang meninggalkan sembilan puluh sembilan domba untuk mencari dan menemukan satu yang hilang. Maria Magdalena merasakan kerinduan yang sama pada hari minggu pagi ketika dia berlari menuju ke makam dan bertemu dengan Guru yang sudah bangkit. Kerinduan akan Allah membawa kita keluar dari penjara berlapis besi yang membuat kita berpikir bahwa tidak ada yang bisa berubah. Kerinduan akan Allah menghancurkan rutinitas kita yang suram dan mendorong kita untuk membuat perubahan yang kita inginkan dan butuhkan. Kerinduan akan Allah berakar di masa lalu namun tidak tetap di sana: kerinduan itu sampai pada masa kini. Orang-orang percaya merasa bahwa kerinduan ini terjadi karena iman untuk mencari Allah, seperti yang dilakukan para Majus, di sudut-sudut yang paling jauh dari sejarah, karena mereka tahu bahwa di sana Tuhan sudah menanti mereka. Mereka berkeliling, melewati perbatasan, ke tempat yang belum dievangelisasi, untuk menjumpai Tuhan. Mereka melakukan ini bukan karena superioritas, tetapi lebih sebagai pengemis yang tidak membuang pandangan dari mereka yang untuknya Kabar Sukacita masih belum diwartakan.

Sikap yang sungguh berbeda muncul di istana Herodes, dekat dari Betlehem, dimana tidak ada orang yang menyadari apa yang sedang terjadi. Ketika para Majus melakukan perjalanan, Yerusalem tidur. Tidur dalam kolusi bersama suara hati Herodes. Herodes bingung, ketakutan. Takut berhadapan dengan kebaruan yang merevolusi sejarah, menutup semua kemungkinan itu pada dirinya sendiri dan pada pencapaian pribadinya, pengetahuannya, dan kesuksesannya. Kebingungan dari orang yang berada di puncak kejayaan dan tidak mau melihat ada yang melebihinya. Kebingungan itu berdiam di hati mereka yang hendak mengontrol segala hal dan semua orang. Kebingungan dari mereka yang terbenam dalam budaya harus menang dengan segala cara, dalam budaya di mana hanya ada ruang untuk “pemenang” berapapun harganya. Sebuah kebingungan yang menghasilkan air mata dan ramalan sebelum semuanya menantang kita, memanggil untuk mempertanyakan kepastian dan kebenaran kita, cara kita berpegang pada kenyataan dan hidup ini. Herodes takut, dan ketakutan itu menuntunnya untuk mencari keamanan dalam kejahatan: “kamu membunuh orang dalam tubuh mereka, karena ketakutan membunuh kamu dalam hatimu” (santo Quodvultdeus, homili 2 tentang Kredo: PL 40, 655).

Kita hendak menyembah. Para majus datang dari timur untuk menyembah, dan mereka datang untuk mewujudkannya di tempat yang cocok untuk seorang raja: sebuah Istana. Pencarian mereka menuntun mereka ke sana, karena seorang raja harus dilahirkan di sebuah istana, dari kalangan istana dan semua hal lain yang berkaitan dengan istana. Karena itu adalah sebuah tanda kekuatan, kesuksesan, sebuah prestasi. Orang mungkin mengharapkan seorang raja yang dihormati, ditakuti dan dan dipuja. Memang benar, namun tidak dicintai. Inilah kategori duniawi, pemimpin tidak penting yang kita beri penghormatan: tradisi penghormatan, penampilan luar dan superioritas. Pemimpin yang menjanjikan duka dan perbudakan.

Itu di sana, di istana, di mana mereka, datang dari jauh, memulai perjalanan panjangnya. Di sana mereka menyampaikan dengan terus terang tentang perjalanan mereka yang sulit dan rumit. Mereka harus mencari bahwa apa yang mereka lihat tidak ada di istana, tetapi di tempat lain, baik secara eksistensial dan geografis. Di istana, mereka tidak melihat bintang yang menuntun mereka untuk menemukan Allah yang mau untuk dicintai. Hanya karena di bawah larangan akan kebebasan, bukan kekerasan, menjadi mungkin untuk menyadari bahwa pandangan akan ketidaktahuan ini tidak memperbudak kita. Sadar bahwa pandangan tentang Allah yang mengangkat, mengampuni dan menyembuhkan. Sadar bahwa Allah mau lahir di tempat yang tidak diharapkan, di tempat yang seringkali kita tolak. Sadar bahwa di mata Allah selalu ada ruang untuk mereka yang terluka, berbeban berat, teraniaya dan dilupakan. Itulah kekuatan Allah yang kita sebut sebagai kerahiman. Bagi kita, jarak Yerusalem sama dengan jauh dari Betelehem.
Herodes tidak dapat menyembah karena dia tidak dapat atau tidak ingin mengubah cara pandangnya. Dia tidak mau berhenti menyembah dirinya sendiri, percaya bahwa segala sesuatu berputar di sekelilingnya. Dia tidak dapat menyembah karena tujuannya adalah agar orang lain menyembahnya. Para imam juga tidak dapat menyembah karena meskipun mereka memiliki pengetahuan yang hebat, dan tahu tentang Nubuat, mereka tidak siap melakukan perjalanan atau mengubah jalan mereka.

Para Majus mengalami kerinduan; mereka capek dengan perjalanan biasa. Mereka semua sangat familiar dan lelah, dengan Herodes pada hari saat itu. Tetapi di sana, di Betlehem, ada sebuah janji kebaruan. Ada sesuatu yang baru yang mengambil alih. Para Majus dapat menyembah, karena mereka memiliki keberanian untuk melakukannya. Dan ketika mereka berlutut di hadapan bayi yang kecil, miskin dan bisa diserang kapan saja, bayi betlehhem yang tidak diharapkan dan tidak dikenal, mereka memukan kemuliaan Tuhan. (Berita Vatikan, Terj. Ignasius Lede)

Sumber: http://en.radiovaticana.va/news/2017/01/06/the_popes_homily_on_the_feast_of_the_epiphany/1283919
Gambar: http://media02.radiovaticana.va/photo/2017/01/06/RV22368_Articolo.jpg

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *